Kenapa Kita Sering Ketipu Hoaks? Ini 10 Alasan Sederhana yang Jarang Disadari
sumber gambar: tirto.id
Di tengah derasnya arus informasi yang datang dari berbagai arah, kita sering kali menerima berita dengan cepat tanpa sempat memeriksa kebenarannya. Apalagi di era media sosial sekarang, satu pesan bisa berpindah dari satu grup ke grup lainnya hanya dalam hitungan detik. Melalui Pojok IT kali ini, kita membahas fenomena yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari: kenapa kita begitu mudah tertipu hoaks, serta hal-hal sederhana yang bisa dilakukan supaya tidak ikut terjebak informasi palsu.
Dengan memahami cara kerja otak, kebiasaan digital, dan trik penyebar hoaks, kita bisa menjadi pengguna internet yang lebih cerdas dan lebih berhati-hati saat menerima atau membagikan informasi.
1. Judul Clickbait yang Sengaja Bikin Penasaran
Pembuat hoaks sangat paham bahwa judul dramatis jauh lebih cepat membuat orang menekan tombol “baca”.
Beberapa contohnya:
- “BREAKING! Besok Internet Dimatikan!”
- “Video Ini Dihapus Pemerintah! Sebelum Hilang, Tonton!”
Sering kali, isi beritanya tidak ada kaitan dengan judulnya.
2. Otak Suka yang Cepat, Bukan yang Benar
Secara psikologis, otak manusia cenderung memilih jalan pintas.
Hoaks memanfaatkan ini dengan menghadirkan:
- kalimat pendek
- alasan sederhana
- kata-kata familiar
Alhasil, otak cepat menganggap informasi tersebut “masuk akal”.
3. Karena Dikirim Teman atau Keluarga
Informasi yang datang dari orang dekat terasa otomatis benar.
Padahal sumbernya belum tentu jelas. Efeknya: percaya dulu, cek belakangan.
4. Foto/Video Membuat Informasi Terlihat Lebih Valid
Riset menyebutkan bahwa manusia lebih mudah percaya pada informasi yang disertai gambar atau video—even jika visual tersebut editan.
Contoh manipulasi visual:
- video dipotong beberapa detik
- gambar lama dipakai untuk konteks baru
- foto editan sederhana yang terlihat “meyakinkan”
5. Banyak Orang Cuma Baca Judul
Fenomena ini sudah umum.
Survei global menunjukkan lebih dari 60% orang hanya membaca judul sebelum membagikan berita.
Dampaknya? Salah tafsir → salah percaya → salah sebar.
6. Emosi Tinggi, Logika Menurun
Hoaks sangat sering muncul saat isu tertentu sedang panas:
- bencana
- isu kesehatan
- politik
- kriminal
- kontroversi publik
Di kondisi seperti ini, otak lebih fokus pada ancaman dan sensasi, bukan akurasi.
7. Algoritma Media Sosial Membuat Kita Tinggal di “Ruang Gema”
Algoritma mempelajari apa yang kita suka, lalu menampilkan konten serupa—meskipun salah.
Fenomena ini disebut echo chamber, membuat kita merasa informasi palsu itu “umum”, padahal hanya tampil di gelembung kita sendiri.
8. Hoaks Sekarang Dibuat Sangat Mirip Berita Resmi
Banyak hoaks memakai:
- logo media besar
- desain ala breaking news
- gaya tulisan ala jurnalis
Sekilas terlihat kredibel, tapi tidak ada sumber yang dapat diverifikasi.
9. “Angka Palsu” yang Terlihat Meyakinkan
Hoaks sering menampilkan angka agar terdengar ilmiah:
- “90% ahli setuju…”
- “Penelitian luar negeri membuktikan…”
Tanpa ada lembaga, jurnal, atau bukti nyata.
10. Literasi Digital Masih Belum Merata
Banyak pengguna internet belum terbiasa:
- mengecek tanggal
- memeriksa sumber
- verifikasi foto/video
- membedakan opini, narasi, dan fakta
Ini wajar karena literasi digital baru mulai berkembang beberapa tahun terakhir.
Lalu, Bagaimana Caranya Tidak Gampang Tertipu Hoaks?
Cara paling sederhana tapi sangat efektif:
✔ 1. Cek sumbernya dari portal resmi
✔ 2. Lihat tanggal, banyak hoaks pakai berita lama
✔ 3. Baca isi, jangan cuma judul
✔ 4. Bandingkan dengan 2 sumber lain
✔ 5. Tahan 10 detik sebelum share
✔ 6. Kalau ragu → jangan bagikan
Langkah kecil, tapi berdampak besar untuk menjaga ruang digital tetap sehat.
Penutup
Hoaks bukan hanya persoalan teknologi—tetapi juga kebiasaan kita saat menerima informasi. Dengan sedikit lebih berhati-hati dan memahami cara hoaks bekerja, kita bisa terhindar dari salah paham, tidak ikut menyebarkan berita palsu, dan ikut menjaga lingkungan digital yang lebih aman.
Sumber Referensi
- Laporan Literasi Digital Indonesia – Kementerian Kominfo & Siberkreasi (2022–2024).
- UNESCO – Information Literacy & Misinformation Studies (2021–2024).
- Stanford History Education Group – Civic Online Reasoning Study (2020–2023).
- MIT Media Lab – Riset tentang persepsi visual dan kecepatan penyebaran hoaks (2018–2023).
- Laporan Digital 2024 – We Are Social & Meltwater (tren perilaku pengguna internet).
- Artikel edukasi cek fakta dari Kominfo dan Mafindo (2023–2024).
- Insight tambahan dari berbagai media dan jurnal yang membahas echo chamber & algoritma media sosial.